Tuesday, April 2, 2013

Makalah Munakahat



MUHAHAKAT
A.    KETENTUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERNIKAHAN
1.      Pengertian
     Munahakat berarti pernikahan atau pernikahan. Kata dasar dari pernikahan adalah nikah. Kata nikah memiliki persamaan dengan kata kawin. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan dasar sukarela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang diridai oleh Allah SWT.
     Nikah termasuk perbuatan yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW atau sunah Rasul. Dalam hal ini, disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW yang artinya, “Dari Anas bin Malik r.a., bahwasanya Nabi SAW memuji Allah SWT dengan menyanjung-Nya, beliau bersabda, ‘Akan tetapi aku salat, tidur, berpuasa, makan, dan menikahi wanita, barangsiapa yang tidak suka dengan perbuatanku, maka dia bukanlah bagian dari golonganku.’”(H.R. Bukhari dan Muslim)
2.      Hukum Nikah
     Menurut sebagian besar ulama, hukum nikah pada dasarnya adalah mubah, artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Jika dikerjakan tidak mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
     Meskipun demikian, ditinjau dari segi kondisi orang yang akan melakukan pernikahan, hokum nikah dapat berubah menjadi sunah, wajib, makruh, atau haram. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.       Sunah
     Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinahan – walaupun tidak segera menikah – maka hukum nikah adalah sunah. Rasulullah bersabda, “Wahai para pemuda, jika di antara kamu sudah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah ia menikah, karena pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan lebih memelihara kelamin (kehormatan); dan barangsiapa tidak mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu jadi penjaga baginya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
b.      Wajib
     Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zinah jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
c.       Makruh
     Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.
d.      Haram
     Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, hukum nikah adalah haram.
3.      Tujuan Pernikahan
     Secara umum, tujuan pernikahan menurut Islam adalah untuk memenuhi hajat manusia(pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia, sesuai dengan ketentuan agama Islam. Apabila tujuan pernikahan yang bersifat umum itu diuraikan secara terperinci, tujuan pernikahan secara Islami dapat dikemukakan secara berikut:
a.       Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih saying. Allah SWT berfirman:
Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 …….
Artinya:  ….. “Dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan
                 sayang…..” (Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
b.      Untuk memperoleh ketenangan hidup(sakinah). Allah SWT berfirman:
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya….”(Q.S. Ar-Rum, 30: 21)
c.       Untuk memenuhi kebutuhan seksual(berahi) secara sah dan diridai Allah.
d.      Untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…”(Q.S. Al-Kahfi, 18:46)
e.       Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.
4.      Rukun Nikah
     Rukun nikah berarti ketentuan-ketentuan dalam pernikahan yang harus dipenuhi agar pernikahan itu sah. Rukun nikah tersebut ada lima macam yakni sebagai berikut:
a.       Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
b.      Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun); bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
c.       Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya. Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:
Artinya: “Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata, ‘Rasulullah SAW telah bersabda, “Siapa pun perempuan yang menikah dengan tidak seizing walinya, maka batallah pernikahannya.’” (H.R. Imam yang empat, kecuali An-Nisai dan disahkan oleh Abu’Awamah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim)
Wali nikah dapat dibagi menjadi dua macam:
1)      Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan.
Urutan Wali Nasab:
2)      Wali Hakim, yaitu kepala Negara yang beragama Islam. Di Indonesia, wewenang presiden sebagai wali hakim dilimpahkan kepada pembantunya, yaitu Menteri Agama. Kemudian Menteri Agama mengangkan pembantunya untuk bertindak sebagai wali hakim, yaitu Kepala Kantor Urusan Agama Islam yang berada di setiap kecamatan. Wali hakim bertindak sebagai wali nikah, jika wali nasab tidak ada atau tidak bias memenuhi tugasnya.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
1)      Beragama Islam, orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali nikah, seperti firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 28.
2)      Laki-laki.
3)      Balig dan berakal.
4)      Merdeka dan bukan hamba sahaya.
5)      Bersifat adil.
6)      Tidak sedang ihram haji atau umrah.
d.      Ada dua orang saksi. Selain itu, dalam pernikahan juga diperlukan dua orang saksi, dengan syarat beragama Islam, laki-laki, balig(dewasa) dan berakal sehat, dapat mendengar, dapat melihat, dapat berbicara, adil, dan tidak sedang ihram haji atau umrah.
e.       Ada akad nikah yakni ucapan ijab Kabul. Ijab adalah ucapan wali (dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabul adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, karena merupakan syarat nikah, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunah. Suruhan untuk memberikan mas kawin ada dalm Al-Qur’an:

Artinya: “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….”(Q.S. An-Nisa, 4:4)
     Selesai akad nikah diadakan walimah, yaitu pesta pernikahan. Hukum mengadakan walimah adalah sunnah muakkad. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Adakanlah walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing.”(H.R. Bukhari dan Muslim)
     Menghadiri walimah bagi yang diundang hukumnya wajib, kecuali kalau ada uzur (halangan) seperti sakit. Rasulullah SAW bersabda:

Artinya: “Orang yang sengaja tidak mengabulkan undangan walimah berarti durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.”(H.R. Muslim)
5.      Muhrim
     Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu sebagai berikut:
a.       Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
1)      Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
2)      Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya).
3)      Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
4)      Saudara perempuan dari bapak.
5)      Saudara perempuan dari ibu.
6)      Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
7)      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
b.      Wanita yang haram dinikahi karena hubungan susunan:
1)      Ibu yang menyusui.
2)      Saudara perempuan susunan.
c.       Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
1)      Ibu dari istri (mertua).
2)      Anak tiri (anak daris istri dengan suami lain), apabila suami sudah berkumpul dengan ibunya.
3)      Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum. Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu. “(Q.S. An-Nisa, 4:22)
4)      Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
d.      Wanita yang haram dinikahi karena mempunyai pertalian mahrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap duaorang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya. Mengenai wanita-wanita yang haram dinikahi (muhrim) telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa, 4:23)




No comments:

Post a Comment

Blogger news

Blogroll