Ini cerpen dulu pengen gue kirim pada waktu ada lomba cerpen yang brosurnya di pasang di mading. Tapi, gak ada waktu buat nyelesai'innya,,jadi kegantung,,
Yahh.. Gue yakin sih,, gak bakalan menang juga,, soalnya cerpennya ancurr bangett..
:p
Yahh,,Moga bisa ngisi waktu dengan baca cerpen kegantung gue ini..
Hahahahah
Tema : apa aja
boleh
Pagi yang indah. Aku
bangun pagi kali ini. Ku buka jendela kamar, dan ku hirup udara pagi yang
segar. Rasanya seperti melayang-layang di atas sebuah hutan tropis di
Antartika.
“Hmm memangnya ada hutan di Antartika?” kata hati kecilku.
“Entah ada atau tidak, yang jelas perasaanku kali ini terasa sangat damai.
Kalau gak bisa jauh-jauh, cukup hutan tropis di Lemoape saja” kata hati besarku. (Lemoape merupakan sebuah
kampung, kecamatan, desa, atau apalah namanya di Kabupaten Bone, Sulawesi
Selatan. Lemoape itu adalah tempat tinggal salah seorang teman yang sangat
berharga buat teman aku.)
Tiba-tiba suara buruk dan kejam itu menyeruap
masuk. Memanggil namaku dengan kasarnya. Mengusir segala kedamaian, keindahan,
dan ketentraman hati yang ku alami pagi hari ini. Suara itu seperti angin kutub
utara yang merayap masuk ke dalam tubuhku, membekukan tulangku. Suara itu
seperti bom atom di Jepang yang dapat membuat orang yang mendengarnya menjadi
tak berkutik, dan hanya bisa berpasrah untuk menyerahkan jiwa dan raganya.
“Kiki” panggilnya
“Iya” jawabku
“Kiiikiiiii” nadanya sekarang sedikit jengkel. Tapi aku tak tahu kenapa.
Aku bahkan belum melakukan sesuatu apa pun pagi ini. Mana mungkin aku telah
berbuat salah.
“Iyaaa” jawabku tetap halus.
Tak ada jawaban. Suara itu menghilang. Aku
bahagia, senang, gembira. Entah apa yang dapat melukiskan perasaanku saat ini.
Kedamaian pagi yang sejuk itu kembali. Aku menundukkan kepala, menutup mata dan
membiarkan pikiranku kosong. Membiarkan kedamaian membawaku kemana pun ia ingin
membawaku.
“Kiki” suara itu datang lagi. Namun, dengan nada yang sedikit lebih lembut.
“Iya” jawabku lagi.
Seakan hujan turun
dari langit di pagi yang cerah. Badanku basah kuyup. Entah darimana hujan ini
turun. Baru sekitar lima detik aku menutup mata setelah melihat meronanya
matahari pagi.
“Hujan? Apa ini hujan?” kataku.
“Kiiiikkkkiiiiiii….. Bangggggguuuuunnnnnnnnnnnnnnnnn”
Aku tersentak. Ku buka kedua mata lebar-lebar
seakan bola mata ini hampir terloncat kaget dan berlari melarikan diri dari
sang empunya. Mungkin mereka akan hidup bahagia di suatu tempat. Tempat dimana
seluruh pasangan bola mata berkumpul untuk merayakan kebebasan mereka.
Membangun sebuah perkampungan yang indah dengan pemandangan alam yang
mempesona. Lucu juga kalau dibayangin.
“Ibu?” ucapku dengan heran. Memandang wajahnya yang memerah seakan mendidih
dengan suhu 100 derajat Celsius. Di tangan kanannya ada sebuah gayung. Setelah
berpikir sejenak, aku baru sadar, ternyata dari gayung itulah hujan itu
berasal.
“Ibu, ibu. Bangun. Ini sudah jam berapa? Kamu mau terlambat ke sekolah
lagi? Bangun.” Bentaknya dengan keras.
“Hahhh. Sekolah? Ini sudah jam berapa bu? Aduhh” Jawabku terkejut.
“Ini sudah jam tujuh tau. Bangun anak malas!!”
Tanpa pikir panjang
aku langsung beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Tanpa menoleh
sedikit pun untuk melihat wajah ibuku yang sudah berubah menjadi monster yang
seakan siap menerkamku. Gayung di tangannya seakan telah berubah menjadi sebuah senjata yang siap melepaskan pelurunya jika sedetik saja
aku berhenti berlari.
Aku kayuh sepeda ini
sekuat yang aku bisa. Berharap aku masih bisa sampai tepat waktu di sekolah
walaupun rasanya sudah mustahil. Ketika aku sampai di pintu gerbang sekolah,
Pak Ujang satpam sekolah sudah hendak menutup pintu gerbang. Aku kayuh sepeda
kuat-kuat hingga akhirnya kejadian naas itu tak terhindarkan. Braaaakk.... Aku
menabrak gerbang sekolah. Pak Ujang panik dan langsung membuka pintu gerbang
untukku.
“Neng tidak apa-apa kan? Ada yang luka?” Katanya panik.
“Ahh,,tidak apa-apa kok. Oh iya tolong nitip sepedanya ya?” Aku berlari
menuju halaman depan sekolah menuju ke kelasku. Aku sekarang duduk di bangku
kelas dua SMA Harapan Bangsa.
Aku menghentikan
langkahku tepat di depan pintu masuk kelas. Aku tarik napas dalam-dalam sebelum
siap menerima apa yang akan terjadi setelahnya. Hari ini adalah jadwal mata
pelajaran matematika Pak Dengki. Sumpah, galaknya minta ampun. Aku sudah
beberapa kali terlambat setiap jam mata pelajaran dia. Dan aku yakin sekarang
pasti tak ada ampun.
Tok tok tok tok... Pintu kelas aku ketuk.
“Masuk” Suara berbahaya itu akhirnya terdengar. Bulu kudukku merinding sampai
ke ubun-ubun. Aku melangkahkan kaki yang terasa sangat berat ini ke dalam
kelas. Sulit sekali. Seakan ada beban seratus kilo yang terpasang di sepatuku.
“Kiki? Kamu terlambat lagi?” Katanya lembut.
Aku bingung. Entah kesambet setan apa guruku ini.
Mengapa dia berkata dengan sangat sopan.
“iya pak” jawabku lemas.
“ooo” katanya.
“saya boleh duduk Pak?” tanyaku ragu.
Sebelum menjawab, dia menyunggingkan senyum penuh pertanyaan yang sangat
menyeramkan. Menampakkan semua gigi dan sebuah gigi emas di bagian rahang atas.
Seperti rentenir yang sedang menagih hutang dengan memasang patokan bunga yang
tinggi.
“tentu saja tidak boleh. Sekarang kamu berdiri di depan, angkat satu kaki,
dan pegang kedua telinga kamu” bentaknya.
Akhirnya. Dia menampakkan sifat aslinya. Semua teman sekelasku tertawa.
Entah apa ada yang lucu.
Bel istirahat pun
berbunyi. Akhirnya penderitaanku ditutup dengan segepok tugas tambahan dari Pak
Dengki. Mungkin kalau aku jadi perampok suatu hari nanti, akan kucabut paksa
gigi emasnya. Agar dia tidak pernah lagi menyunggingkan senyum yang mengenaskan
itu.
“Kiki kiki, kamu terlambat lagi” kata Ana.
“iya Ki. Emangnya kamu nggak bisa datang pagi-an dikit napa?” tambah Noni.
“yah bukannya gitu. Semalam aku begadang ngerjain tugas” jawabku.
“tugas apaan?” tanya Ana
“eheheh,, gak tau deh tugas apaan” timpalku.
“huuu, bilang aja kalau kamu tidurnya itu kaya kebo. Biar dibangunin kaya
apa pun gak akan bangun deh” kata Nevan sambil memukul kepalaku.
“Ehh Ki, apaan tuhh di jidad lo? Gede amat?” kata Nevan.
“apaan?” tanyaku
“ itu tuh” kata Nevan sambil menunjuk bulatan besar jerawat di jidadku.
“ Jerawat, itu jerawat Ki.” Kata Ana.
“Ohh My Goodd” teriakku histeris.
Astaga ada sebuah
bulatan besar merah di jidad aku. Jerawat itu seakan mengubahku menjadi pemain
film India yang menari di hamparan tanaman bunga sambil berlari-lari dikejar
oleh cowonya.
“mimpi apa aku semalam? Gimana ini? Hari ini aku ada casting lagi.” Jawabku
murung.
“casting?” teriak Ana, Noni dan Nevan bersamaan.
“ emangnya loe mau jadi artis?” ejek Nevan
“ ya iya, nyoba-nyoba aja. Soalnya otak aku kan gak bisa di otak-atik lagi
tuh supaya encer, jdi mungkin aku lebih beruntung di dunia entertaint. Kan jadi
artis gak perlu pinter. Hahahahahah” kataku menjelaskan.
Ana, Noni, dan Nevan bingung. Mereka saling bertatapan satu sama lain
dengan wajah yang terlihat terkejut dan sangat sangat heran.
“kalian kenapa sih? Kalau aku jadi artis kan, kalian juga yang kecipratan
terkenalnya.”
“gak salah Ki? Loe jadi artis?” kata Nevan heran.
“iya, artis. Yang suka main sinetron itu. Sore ini aku ada casting. Kalian
nganterin aku yah. Tapi kita harus cari solusi dulu untuk yang satu ini nih”
kataku sambil menunjuk jerawat menjengkelkan di jidadku.
Sepulang sekolah aku
dan teman-temanku mampir ke toko kosmetik untuk membeli obat jerawat. Sebnarnya
kalan Nevan tidak keasikan menggoda kakak SPG toko itu, kami mungkin bisa
pulang dengan cepat. Tapi, karena ulahnya itu kami malah tertahan di toko
selama satu jam. Aku, Ana, dan Noni hanya bisa menonton dan menyaksikan segala
rayu gombal Nevan kepada kakak SPG itu dengan sesekali menggeleng-gelengkan
kepala.
Sepulang sekolah, aku
memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Setelah mandi, aku mengoleskan obat
jerawat itu ke peliharaanku yang tak tau di untung itu. Jerwat besar merah di
jidadku. Setelah itu, aku merebahkan diri di ranjang sambil bersantai. Masih
ada sekitar 45 menit tersisa sebelum aku bersiap-siap ke tempat casting bersama
Nevan, Noni, dan Ana. Tanpa sadar aku pun tertidur.
Aku terbangun satu jam
kemudian. Aku mengecek Hpku untuk memastikan ada pesan atau panggilan apa saja
yang masuk selama aku teridur. Ternyata ada delapan panggilan dari Nevan dan
sebuah pesan dari Ana.
KAMU DIMANA KI? KAMI SUDAH ADA DI TEMPAT CASTING. CASTINGNYA SUDAH HAMPIR
DIMULAI.
Tanpa pikir panjang
aku langsung berganti pakaian dan berlari ke halaman untuk mengambil sepedaku.
Ku ayuh sepeda sekuat tenaga hingga akhirnya aku sampai juga ke tempat casting
itu.
“aku belum telatkan” kataku terengah-engah.
Nevan, Noni, dan Ana terdiam. Entah apa yang
mereka pikirkan mereka melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Dan
pandangan mata mereka terhenti tepat di jidadku.
“aku belum telatkan?” ucapku lagi.
“be, belum” kata Ana jelas.
Aku pun pergi untuk mengambil nomor peserta casting. Dan aku pun menunggu
hingga nomorku dipanggil.
“coba lihat cewe itu” kata seorang cewe pendek putih.
“iya, lihat. Tampilannya berantakan. Bagaimana mau ikut casting kalau kaya
gitu. Pantasnya sih cuman dapat peran gelandangan aja. Hahaha, dan liat tuh
jerawatnya gede amat.” Kata teman cewe pendek tadi.
Mendengar perkataan
mereka. Aku jadi naik pitam. Aku berlari ke arah mereka dan menubruk mereka
berdua hingga terpental jatuh. Aku membuat kehebohan di tempat casting itu.
Entah apa yang aku pikirkan. Mendengar mereka menyebut-nyebut soal jerawat, aku
seakan menjadi banteng yang siap menyeruduk dengan ganasnya.
Aku pun akhirnya di
usir dari tempat casting itu. Belum sempat aku menunjukkan bakatku di depan
juri, aku sudah dipalingkan muka dari mereka. Teman-temanku juga tak mengatakan
apa-apa selama perjalanan pulang. Mungkin mereka terlalu terkejut melihat
sikapku yang seperti orang kesurupan dengan penampilan urak-urakan. Persis
seperti gelandangan. Aku jadi berpikir. Kenapa aku harus marah mendengar perkataan
dua cewe tadi. Padahal itu semuakan benar.
Pagi harinya, aku
sudah tidak terlambat lagi. Memikirkan apa yang telah terjadi kemarin membuatku
tidak dapat tidur dengan nyenyak.
Pada jam istirahat,
seperti biasa aku duduk ditaman bersama teman-temanku. Mereka sama sekali tidak
membahas kejadian kemarin. Begitupula aku yang sama sekali ingin melupakan
kejadian memalukan itu.
Tiba-tiba Kak Riko dan
teman-temannya lewat.
“ Ki, itu Kak Riko” kata Noni
“ iya aku lihat, aku lihat” kataku.
“ emang kamu masih suka sama si Riko itu? Sampai sekarang bahkan kamu belum
kenalan ama dia. Bagaimana mau jadian?” ejek Nevan.
“biarin aja. Itu urusan aku”
Kak Riko adalah kakak
kelas aku. Aku sudah lama menyukainya. Sejak masa oreantasi sekolah dulu. Tapi
sampai sekarang aku hanya bisa menjadi penggemar rahasianya saja.
TO BE CONTINUED