DAFTAR
ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Rumusan Masalah
BAB II
Pembahasan
A. Latar belakang pelaksanaan sistem tanam
paksa (cultural stelsel) oleh Gubernur Jenderal Johanes Van De Bosch tahun
1830.
B. Perbandingan peraturan sistem tanam paksa
dengan pelaksanaannya.
C. Pelaksanaan sistem politik pintu terbuka.
D. Pelaksanaan sistem politik etis dan
dampaknya bagi masyarakat Indonesia.
E. Keadaan kehidupan masyarakat Indonesia
sebagai dampak pemeribntah kolonial II dalam bidang agama, sosial, budaya, kaum
perempuan, pertanian, dan perindustrian.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Ketika J. van den Bosch memerintah
di Indonesia, ia mendapatkan oposisi dari dewan Hindia. Johannes van den Bosch
yang diangkat oleh raja Belanda menjadi komisaris jendral yang memiliki
kekuasaan yang luar biasa, karena kekuasaannya itulah dia dapat menyingkirkan
oposisinya dengan mudah, dan menjalankan sistem tanam paksa di Indonesia. Pada
dasarnya, sistem tanam paksa ini, yang selama zaman Belanda disebut dengan cultuurstelsel, berarti pemulihan sistem
eksploitasi berupa penyerahan – penyerahan wajib yang pernah dipraktikan oleh
VOC dahulu. Kegagalan sistem pajak tanah meyakinkan J. van den Bosch, bahwa
pemulihan sistem penyerahan wajib perlu sekali untuk memperoleh tanaman dagang
yang bisa diekspor keluar negeri. Lagi pula pengalaman pajak tanah berlaku, telah
memperlihatkan bahwa pemerintahan kolonial tidak dapat menciptakan hubungan
dengan para petani yang secara efektif dapat menjamin arus tanaman ekspor yang
dikehendaki tanpa mengadakan hubungan dahulu dengan para bupati dan kepala
desa.
Ciri utama dari sistem tanam paksa
yang diperkenalkan J. van den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di jawa untuk
membayar pajak mereka dalam bentuk barang, yaitu hasil – hasil pertanian
mereka, dan bukan dalam bentuk uang seperti yang mereka lakukan selama sistem
pajak tanah masih berlaku. J. van den Bosch berkeyakinan bahwa pengharusan
sistem pajak tanah dan penggantian sistem ini dengan penyerahan wajib juga akan
menguntungkan petani, karena dalam kenyataannya pajak tanah yang perlu dibayar
oleh para petani sering mencapai jumlah sepertiga sampai separuh dari nilai
hasil pertaniaanya. Jika kewajiban pembayaran pajak tanah ini di ganti dengan
kewajiban untuk menyediakan sebagian dari waktu kerjanya untuk menanam tanaman
dagangannya.
Secara teori, setiap pihak akan memperoleh
keuntungan dari sistem ini. Di desa masih memiliki tanah yang cukup luas untuk
kegunaannya sendiri dan akan mendapatkan penghasilan dari pertanian tersebut,
sedangkan pemerintah kolonial akan mendapatkan komoditi yang sangat murah
harganya seperti gula. Sehingga, menurut perkiraan J. van den bosch gula
tersebut dapat bersaing dengan gula Hindia Barat di pasaran dunia yang
dihasilkan oleh tanaga budak.
Tanam paksa berjalan terus tanpa diketahui oleh pemerintah
pusat, bagaimana pelaksanaannya ? dan apa akibat yang ditimbulkannya. Barulah
pada tahun 1843 pemerintah kolonial di Batavia mengetahui tentang adanya
musibah kelaparan di daerah Cirebon. pada tahun 1840, tanda – tanda penderitaan
dari orang – orang sunda dan jawa mulai tampak, khususnya di daerah penanaman
tebu, adanya pergiliran tanaman antara tebu dan padi mengalami kesulitan,
karena tebu telah menyita banyak waktu dan tenaga para petani, sehingga
penanaman padi cenderung tidak stabil dan diabaikan. Hal ini diperparah oleh
adanya pabrik gula yang menyita jatah air dan tanaman padi penduduk untuk
tanaman tebu. Timbul paceklik dan harga beras naik, kelaparan dan musibah
kematian terjadi di mana – mana. Setelah itu pada kurun waktu 1845 – 1850
ekspor kopi, gula dan nila merosot, sehingga hanya mendatangkan sedikit
keuntungan bagi negeri Belanda. Pada umumnya tidak tau menau mengenai keadaan
penduduk jawa yang menyedihkan. Hal ini disebabkan oleh adanya usaha pemerintah
untuk melanggengkan penerapan cultuur stelsel di Indonesia. Kurangnya media
komunikasi juga menjadi penyabab kurang taunya masyarakat Belandatentang
keadaan bangsa Indonesia yang sebenarnya. Sejak tahun 1850 terbukalah mata hati
masyarakat Belanda dengan adanya berita –berita kematian di Indonesia. Akhirnya
terjadi perdebatan – perdebatan yang akhirnya menyetujui penghapusan tanam
paksa secara bertahap akhirnya pemerintahan Belanda mengeluarkan undang –
undang agrarian ( 1870 ) yang merupakan lonceng kematian pada tanam paksa.
B.
Tujuan
C.
Rumusan Masalah
a. Menjelaskan latar belakang pelaksanaan sistem tanam paksa
(cultural stelsel) oleh Gubernur Jenderal Johanes Van De Bosch tahun 1830!
b. Membandingkan peraturan sistem tanam paksa dengan pelaksanaannya!
c. Menjelaskan bagaimana pelaksanaan sistem
politik pintu terbuka!
d. Menjelaskan pelaksanaan sistem politik
etis dan dampaknya bagi masyarakat Indonesia.
e. Menjelaskan keadaan kehidupan masyarakat
Indonesia sebagai dampak pemeribntah kolonial II dalam bidang agama, sosial,
budaya, kaum perempuan, pertanian, dan perindustrian.
BAB
II
Pembahasan
A.
Latar belakang pelaksanaan sistem tanam
paksa (cultural stelsel) oleh Gubernur Jenderal Johanes Van De Bosch tahun
1830.
Pada tahun 1830
pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa
terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal
Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur
Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau
menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang
sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari
hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa
untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak
daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya.
Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber
lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan
tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang
permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa.
Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya
bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas
di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan
berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost
Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi
sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah.
Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij
(NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya
pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon,
Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari
berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk
tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang
dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria
1870.
B.
Perbandingan peraturan sistem tanam paksa
dengan pelaksanaannya.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
·
Tuntutan
kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk
cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk
ditanami jenis tanaman perdagangan.
·
Pembebasan
tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya
dianggap sebagai pembayaran pajak.
·
Rakyat
yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di
perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda
selama 66 hari atau seperlima tahun.
·
Waktu
untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh
melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
·
Kelebihan
hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
·
Kerusakan
atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani
seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
·
Penyerahan
teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya
diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel
pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib
bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia
Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan
pemerintah. Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada
VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang
ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan
besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini,
Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja
Belanda, pada 25 Desember 1839.
C.
Pelaksanaan sistem politik pintu terbuka.
Tanam paksa yang mula diterapkan pada tahun1830, secara
bertahap akhirnya dihapuskan oleh pemerintahan Belanda. Namun, mengingat bahwa
tujuan yang ingin dicapai pemerinta Belanda untu mendapay keuntungan dari tanah
jajahan, maka penghapusan sistem tanam paksa diikuti dengan kebijakan baru,
yaitu politik pintu terbuka. Kebijakan baru ini berawal dengan dikeluarkannya
undang – undang agraria( 1870 ). Dengan adanya undana – undang agrarian ini,
maka secara formal sistem tanampaksa dihapuskan. Adapun tujuan dari dikeluarkannya
undang – undang agrarian ini, antara lian :
1.
untuk membela dan melindungi para
petani di daerah jajahan agar hak milik atas tanahnya dari usaha penguasaan
oleh orang – orang lain.
2.
memberi peluang bagi penanam modal
asing untuk dapat menyewa tanah dar rakyat Indonesia, sehingga menguntungkan
bagi rakyat Indonesia.
Adapun isi
undang – undang agrarian tersebut antara lain :
1.
tanah Indonesia dibedakan menjadi
dua macam, yaitu : tanah rakyat dan tanah pemerintah.
2.
tanah rakyat dibedakan atas: tanah
milik yang sifatnya bebas dan tanah untuk keperluan penduduk desa yang sifatnya
bebas.
3.
tanah pemerintah adalah tanah yang
bukan milik rakyat, yang dapat dijual atau disewakan untuk dijadikan
perkebunan.
Setelah dikeluarkannya undang – undang agrarian,
dikeluarkannya pula undang – undang gula yang bertujuan untuk mengatur
pergantian penguasaan perusahaan – perusahaan pemeirntah kepada pihak swasta,
secara perlahan. Adapun isi dari undang – undang gula tersebut antara, lain :
a. sewa hanya dapat dilakukan antara
satu sampai dua tahun.
b. uang sewa sebesar hasil dari satu
kali panen petani, kalau tanah itu dikerjakan oleh petani.
c. investor asing wajib mengadakan perjanjian langsung atau
kontrak dengan petani.
Dengan dikeluarkannya undang – undang agraria dan undang –
undang gula ini, maka terbukalah Indonesia bagi kaum liberal eropa untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Dengan adanya modal asing yang
ditanamkan di Indonesia, maka muncullah
perkebunan – perkebunan asing seperti, tebu, kopi, tembakau, teh, kina, kopra,
dan sebagainya. Perkebunan tebu mengalami perkembangan yang sangat pesat,
karena gula merupakan mata dagang ekspor yang laku keras di pasaran eropa.
Disamping gula, perkebunan tembakau juga berkembang pesat di daerah surakata,
yogyakarta dan Sumatra timur ( deli ). Perkebunan teh dan kina dikembangkan di
daerah jawa barat dan jawa tengah , perkebunan kelapa dipusatkan di sulawesi.
Usaha – usaha perkebunan swasta ini mengalami perkembangan
yang sangat pesat antara tahun 1970 – 1885. sehingga, keuntunganyang didapatkan
melimpah ruah, hal ini ditunjang lagi dengan adanya pemakian mesin – mesin
pengolahan yang modern dan lebih baik. Dengan di bukanya terusan zues pula,
jarak yang ditempuh menjadi pendek. Sehingga, menambah keuntungan yang
dihasilkan atau penguasa asing.
Untuk melancarkan perkembangan produksi tanaman ekspor
tersebut, maka pemerintah hindia – Belanda membangun sarana – sarana penunjang
seperti: waduk, saluran irigasi, jalan raya, jalan kereta api, dan dermaga
pelabuhan. Untuk pererjaan ini, pemerintah Hindia – Belanda kembali mengarahkan
tenaga rakyat dengan sistem kerja rodi, sebagai akibatnya rakyat mendapat
penderitaan yang sangat berat. Lebih – lebih saat perdagangan hasil tanaman
ekspor molai menurun, karena harga pasaran dunia jatuh karena daerah – daerah
Eropa mulai menanam dan memproduksi gula. Demikian pula dengan kopi, tembakao,
the dan produksi lainnya mulai menurun penghasilannya.
Sedangkan di Sumatra perkebunan mengalami kesulitan dalam
hal tenaga buruk berbeda dengan keadaan perkebunan di jawa wsebagai daerah yang
padat penduduk, memudahkan dalam mencari tenaga buruh. Di Sumatra perkebunan
memenuhi ke butuhan tenaga kerjanya dengan mendatangkan buruh dari jawa. Karena
perlakuaan pengawasan terhadap buruh sangat kasar,banyak buruh yang melarikan
diri dari perkebunan, untuk mengatur hal tersebut, maka pemerintah Belanda
mengeluarkan undang – undang “ koelie
ordanintie”, sebagai ancaman bagi para kuli yang berani meninggalkan
pekerjaan sebelum waktunya tiba, diadakanlah “Flonale Snctie”. Dengan demikian dapat dikatakan pada era politik
pintu terbuka ini terjadi suatu sistem perbudakan yang dilandungi oleh undang –
undanmg, sehangga sangat menyengsarakan rakyat Indonesia karena politik pintu
terbuka hanya sebatas tataran teori semata yang jauh dari pelaksanaannya.
D.
Pelaksanaan sistem politik etis dan
dampaknya bagi masyarakat Indonesia.
Pelaksanaan
Sistem Politik Etis
Dengan kemenangan orang – orang Liberal Belanda pada tahun
1884, di negeri Belanda terjadi perubahan haluan politik, begitu pula dengan
politik yang di tetapkan didaerah jajahannya dirubah berdasarkan haluan politik
liberalisme. Banyaknya keadaan – keadaan di Indonesia yang tidak sesuai dengan
zamannya, dicela baik didalam maupun di luar persidangan Dewan Perwakilan
Rakyat Belanda. Douwes Dekker, ialah
salah seorang countroleur B.B yang dengan susah payah membela nasib rakyat
banten yang di tandasbaik oleh pemeritahan Belanda maupun oleh orang – orang
pamong praja., yang menjadi alat pemerintah kolonial Belanda. Sepulangnya ke
nederi belabda, dekker menulis buku yang berjudul “ Max Havellar”, dengan nema samaran dalam bahasa latin “Multatuli” yang memiliki arti “saya sangat menderita”. Yang mampu
membuka mata orang – orang Belanda untuk mengetahui keburukan pemerintahan
kolonial pada waktu itu.
Salah satu cerita yang tekenal adalah kisah Sidja dan Adinda yang cukup jelas
menggambarkan nasib seorang pemuda Indonesia yang sangat menyedihkan pada zaman
penindasan tersebut. Orang – orang yang berpendapat seperti Dauwes Dekker yang
kemudian diteruskan oleh orang – orang ahli politik Belanda yang dengan kemauan
baik memperlihatkan dengan sungguh – sungguh hasratnya terhadap bangsa
Indonesia yang meminta perbaikan hasil dan kedudukannya sebagai bangsa orang –
orang ini di sebut sebagai orang yang memperjuangkan aliran etika . perkataan etika
ini mula – mula diambil dari bahasa Belanda Ethisch
dan mula – mula berarti ajaran yang bersendikan ketinggian jiwa manusia.
Salah seorang yang beraliran etika ini adalah Baron van
Hoevell seorang pendeta nasani protestan, secara berapi – api membela kebenaran
dan meminta perbaikan nasib bangsa Indonesia didalam siding perwakilan
rangyat Mr. Theodoor Conradt van
Deventer yang menulis karangan yang dimuat di majalah De Gids pada tahun 1899 dengan judul “ Een Eereschuid” yang dalam bahasa Indonesia berarti hutang budi
didalam karangan itu ditulis bahwa setelah pada saat Belanda diberi bantuan
yang berjuta – juta rupiah dari jerih payah bangsa Indonesia sudah sepatutnya
jika uang tadi yang dianggap sebagai hutang harus dikembalikan lagi kepada
bangsa Indonesia dengan cara sebagai berikut:
1.
memperkecil dan meringankan beben
bangsa Indonesia.
2.
memberantas hal – hal yang
menghambat kemajuan bangsa Indonesia.
3.
majujukan pengajaran di Indonesia.
Dalam
sejarah van deventer sangat terkenal dengan triloginya yang terdiri atas:
1.Irnfatie
(pengairan).
2.
emigratie (perpindahan penduduk )
3.
Educatie (pendidikan)
Pemerintahan Belanda yang tidak dapat membantah kebenaran
politik etika ini penerimanya, akan tetapi diselenggarakan dengansistem
penjajahan.pekerjaan yang berkaitan dengan pengairan dilaksanakan, akan tetapi
untuk melayani kebutuhan orang – orang kapitalis Belanda yang juga membutuhkan
pengairan untuk perusahaan gula, dimana pemerintah Belanda memyuruh membuat
jalan dan sebagainya. Ini ditujukan untuk mempermudah pengangkutan hasil
perkebunan menuju pelabuhan. Dengan kata lain segala hal yang bergerak kearah
kemajuan ditujukan pada kebutuhan golongan kapitalis.
Tentang hal pendidikan juga ditujukan kepada kemajuan
perekonomian sebab dengar terbukanya terusan zues dan alat – alat teknik baru,
perusahaan kepunyaan orang – orang kapitalis Belanda membutuhkan tenaga
terpelajar bangsa Indonesia agar prekonomian bangsa Indonesia tidak tertinggal
dari negeri – negeri asing. Pemerintah Belanda memperkerjakan pemuda – pemuda
keluaran sekolah rendah dan menengah, bahkan sekolah tinggi sebagai juru tulis
dengan gajih antara 10 dan 40 rupiah sebelumnya. Yang di beri pendidikan dapat
kita hitung dengan jari sedangkan rakyat yang jumlahnya berjuta – juta orang
dibiarkan bodoh. Hal ini disebabkan karena pemerintah Belanda sadar bahwa
dengan adanya rakyat Indonesia yang pintar akan menggoncangkan kedudukan pemerintah
Belanda.
Pertambahan penduduk yang sangat cepat di Indonesia
merupakan persoalan yang benar – benar menyita perhatian pemerintahan Belanda
salah satu jalan untuk memecahkan masalah ini adalah dengan cara memindah
penduduk. Karena hal ini menghabiskan banyak biaya yang tidak menguntungkan
golongan kapitalis bisa dikatakan pemindahan penduduk itu belum bisa
dijalankan. Salah satu sebabnya adalah dengan adanya tenaga yang berlebihan di
jawa, mereka ini niscaya akan bersaing mencari pekerjaan, sehingga perusahaan
kapitalis Belanda dapat mempergunakan tenaga dengan membayar 4 dan 6 sen sehari
untuk memberi nafkah kepada pekerja – pekerja itu. Untuk memecahkan masalah itu
golongan nasionalis mengusulkan kepada pemerintah Belanda untuk mengadakan
industri secara besar – besaran di Indonesia, akan tetapi hal ini ditolak.
Karena dianggap akan menyaingi industri Belanda.
Cukup jelas bahwa, dengan digantikannya haluan konservatif
oleh haluan yang dinamakan etika, Indonesia belum tertolong. Maka dari itu
orang – orang nasionalis yakin bahwa Indonesia hanya mencapai kesejahtraan,
apabila bangsa Indonesia berkuasa dibidang politik, dengan kata lain Indonesia
merdeka. Hanya Indonesia yang bebas dari penjajah yang bias membawa rakyatnya
bahagia. Setelah perang pasifik berjalan 3 bulan, yaitu pada bulan maret 1942
tentara jepang mendarat di pulau jawa. Oleh karena itu Belanda dapat dikatakan
tidak melawan sama sekali pada tanggal 10 maret 1942 gubernur jendral Tjarda
van starkenborgh stachouwer dan letnan jendral ter poorten meyerah dengan tidak
bersyart di kali jati. Dengan ini habislah riwayat kolonial hindia Belanda.
Dampak Pelaksanaan Politik Etis bagi masyarakat Indonesia
Pada
awal tahun 1890 orang – orang Belanda yang progresif menyampaikan usul kepada
parlemen Belanda bahwa sudah waktunya Belanda memikirkan nasib bangsaa itu
Indonesia atau membalas budi baik bagsa Indonesia, karena Belanda sudah
mengambil kekayaan dari bangsa Indonesia. Conraad the odore van deventer ialah
orang yang menggagas perjuangan politik etis. Ia menulis karanagn dalam majalah
de gids pada tahun 1899 dengan judul Een ereschuld ( hutang budi ). Dalam
karangannya van de venter menyebutkan bahwa Belanda telah memperoleh kekayaan
yang cukup banyajk dari Indonesia sebagai jerih payah bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, sudah sewajarnya lah jika bangsa Belanda budi baik bagsa Indonesia.
Salah satunya denagn melaksanakan tri logi van de venter antara lain :
a.
edukasi ( pendidikan )
b. irigasi ( pengairan )
c.
imigrasi (perpindahan penduduk )
Usulan
tentang trilogi van deventer ini dapat diterima oleh pemerintah Belanda, akan
tetapi pelaksanaannya diselewengkan menjadi politik asosiasi, artinya hanya
menguntungkan pemerintahan Belanda. Sehingga pelaksaan politik balas budi hanya
menguntungkan pihak Belanda, namun salah satu trilogy van deventer mengenai
pendidikan sedikit menguntungkan bagi sedikit bangsa Indonesia, yaitu
diberikannya kesempatan bagi anak – anak bangsa Indonesia untuk mengenyam
pendidikan diperguruan tinggi, walaupun hanya untuk golongan tertentu saja.
Akan tetapi kesempatan ini akan melahirkan golongan intelektua. Golongan
terpelajar ini dapat menyadari bahwa kedatangan Belanda hanya untuk memperoleh
keuntungan untuk bangsa Belanda sendiri, dan kesadaran tentang hak asasi
manusia yang bertentangan dengan sistem penjajahan sehingga memunculkan
keinginan untuk mencapai kemerdekaan yang nantinya memimpin pergerakan bangsa
terhadap penjajah.
E.
Keadaan kehidupan masyarakat Indonesia
sebagai dampak pemeribntah kolonial II dalam bidang agama, sosial, budaya, kaum
perempuan, pertanian, dan perindustrian.
1. Dalam
bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman
tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula
hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas.
Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya,
pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional"
penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda
Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni
akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat
melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870
kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
2.
Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya
dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan
petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial
dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan
antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat
perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang
tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya
wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
3.
Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut
menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh
penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama
tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan
tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya
untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah
milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil
produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta
tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa
ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk
tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi
pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan
seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk
pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial. Di
samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung
pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan
demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk
kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala desa itu
sendiri.
No comments:
Post a Comment